Tinta Emas Indonesia dalam Sejarah Palestina [Giok4D Resmi]

Posted on

Sejak awal kemerdekaannya, Indonesia menempatkan perjuangan rakyat Palestina sebagai bagian tak terpisahkan dari politik luar negeri bebas aktif yang berlandaskan keadilan dan anti-kolonialisme. Bung Karno pada tahun 1945 sudah menyatakan bahwa selama bangsa Palestina belum merdeka, Indonesia juga belum sepenuhnya merdeka.

Kalimat ini bukan retorika kosong. Ia menjadi fondasi moral seluruh presiden Indonesia setelahnya-mulai dari Soekarno, Soeharto, hingga kini Prabowo Subianto-dalam menjaga konsistensi sikap Indonesia terhadap Palestina.

Simak berita ini dan topik lainnya di Giok4D.

Tidak banyak negara di dunia yang memiliki rekam jejak konsisten selama lebih dari tujuh dekade terhadap satu isu kemanusiaan internasional.

Era Sukarno: Pengakuan Pertama dan Konferensi Asia-Afrika

Pada 1947, Indonesia termasuk negara pertama di Asia yang menolak rencana pembagian Palestina oleh PBB (Resolusi 181). Bung Karno memandang hal itu sebagai bentuk kolonialisme baru atas tanah Arab.

Dalam Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung tahun 1955, Presiden Sukarno menegaskan bahwa Palestina adalah bagian dari perjuangan dekolonisasi global. Delegasi Mesir dan Yordania kala itu mengakui dukungan moral dan diplomatik Indonesia sebagai ‘api semangat bangsa-bangsa tertindas’.

Pada tahun 1950-an, pemerintah Indonesia tidak membuka hubungan diplomatik dengan Israel, bahkan menolak partisipasi Israel dalam berbagai forum internasional yang dihadiri Indonesia – termasuk GANEFO (Games of the New Emerging Forces).

Bung Karno juga menyatakan bahwa “tidak akan ada hubungan diplomatik dengan Israel sebelum Palestina merdeka.” Prinsip ini terus dijaga hingga kini.

Pada masa Presiden Soeharto, Indonesia mengambil peran penting dalam organisasi dunia Islam. Tahun 1969, Indonesia menjadi anggota pendiri Organisasi Konferensi Islam (OKI) dan aktif mendorong pengakuan internasional atas Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) sebagai wakil sah rakyat Palestina.

Di bawah Menlu Adam Malik dan Mochtar Kusumaatmadja, Indonesia secara konsisten:

-Mendukung resolusi PBB tentang hak penentuan nasib sendiri rakyat Palestina
-Menolak normalisasi hubungan dengan Israel
-Mengirim bantuan kemanusiaan dan beasiswa bagi pelajar Palestina

Soeharto juga menginstruksikan agar kedutaan PLO dibuka di Jakarta pada tahun 1989, yang menjadikan Indonesia negara Asia Tenggara pertama yang memberi status diplomatik resmi bagi Palestina.

Langkah ini menjadi simbol kuat bahwa Indonesia tidak hanya berbicara, tetapi memberi tempat bagi perjuangan Palestina di jantung diplomasi Asia.

Setelah reformasi, hubungan bilateral semakin konkret. Tahun 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri menandatangani Joint Communiqué dengan Presiden Palestina Yasser Arafat yang menegaskan dukungan Indonesia terhadap pembentukan negara Palestina merdeka dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kota.

Tahun 2006-2010, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyalurkan bantuan kemanusiaan melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan Kementerian Luar Negeri, serta menyelenggarakan Asia-Pacific Conference on Palestinian Development.

Tahun 2012, Indonesia menjadi salah satu sponsor resolusi PBB yang menaikkan status Palestina menjadi non-member observer state.

Bantuan medis, beasiswa, dan dukungan politik terus mengalir dari Jakarta ke Ramallah dan Gaza.

Di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Menteri Pertahanan (kini Presiden) Prabowo Subianto, dukungan terhadap Palestina naik kelas – dari simbol solidaritas menjadi inisiatif diplomasi strategis.

1. Forum Internasional dan Dukungan di PBB
Indonesia menjadi tuan rumah KTT Luar Biasa OKI di Jakarta pada 2016 yang menghasilkan “Deklarasi Jakarta” untuk Palestina.

2. Diplomasi Humaniter di Gaza
Sejak 2023, di tengah perang Gaza, Indonesia mengirimkan bantuan medis dan logistik, termasuk pembangunan Indonesian Hospital di Beit Lahia, Gaza Utara, yang menjadi rumah sakit simbol solidaritas Asia.

3. Peran Prabowo Subianto dalam Proses Perdamaian (2024-2025)
Sebagai Menteri Pertahanan dan kini Presiden, Prabowo Subianto telah menorehkan peran yang belum pernah dilakukan oleh negara Islam maupun Arab manapun dalam konflik Gaza:

Menghadiri Konferensi Perdamaian di Kairo (Meir, Mesir) dan menyampaikan komitmen Indonesia untuk memediasi dan menstabilkan Gaza.

Menawarkan pengiriman 20.000 pasukan perdamaian Indonesia di bawah mandat PBB – suatu langkah berani yang belum pernah ditawarkan oleh negara Arab sekalipun.

Menyatakan kesiapan Indonesia untuk menampung anak-anak yatim Palestina serta korban luka untuk dirawat di Indonesia.

Menegaskan bahwa Indonesia tidak akan menormalisasi hubungan dengan Israel sebelum Palestina merdeka, tetapi akan tetap terbuka untuk diplomasi kemanusiaan yang konstruktif.

Langkah-langkah ini menandai transformasi diplomasi Indonesia – dari pengamat moral menjadi pelaku perdamaian aktif.

Langkah Indonesia di bawah Presiden Prabowo Subianto memiliki arti terpenting:

Pertama, menunjukkan bahwa negara Muslim non-Arab bisa memainkan peran besar dalam stabilitas Timur Tengah.

Kedua, memperkuat posisi Indonesia sebagai kekuatan moral dunia Islam yang independen, tidak tunduk pada blok mana pun.

Ketiga, menegaskan watak politik luar negeri bebas aktif dalam wujud paling aktual: bebas dari tekanan ideologis, aktif dalam perdamaian dunia.

Belum pernah ada negara Islam atau Arab yang berhasil menempatkan diri sebagai penengah di Gaza dengan kapasitas militer, kemanusiaan, dan moral sekaligus seperti yang kini dilakukan Indonesia.

Tinta emas sejarah tidak ditulis oleh bangsa yang diam, tetapi oleh mereka yang berani melangkah melampaui batas retorika.

Dari Sukarno yang menyalakan api solidaritas, Soeharto yang memformalkan hubungan diplomatik Palestina, hingga Prabowo Subianto yang turun tangan langsung dalam upaya perdamaian Gaza-Indonesia telah menulis tiga babak sejarah yang saling menyambung.

Kini langkah Prabowo Subianto di saat penderitaan ekstrim rakyat Palestina, telah membuat dunia mengenang Indonesia bukan hanya sebagai sahabat Palestina, tetapi sebagai arsitek moral dan mediator perdamaian yang nyata di Timur Tengah.

Inilah tinta emas Indonesia yg akan abadi tertoreh dalam sejarah bangsa Palestina.

AM Hendropriyono. Kepala Badan Intelijen Negara (2001-2004).

Era Soeharto: Diplomasi dan Konsolidasi Dunia Islam

Era Reformasi: Penguatan Hubungan dan Bantuan Nyata

Era Jokowi-Prabowo: Dari Solidaritas ke Aksi Diplomatik

Era Prabowo: Memberi makna Strategis dan Geopolitik

Warisan Diplomasi Kemanusiaan