Di tengah ekspektasi yang rendah, pertemuan menteri luar negeri Uni Eropa (UE) di Brussel, Belgia, pada Selasa (21/5) justru melahirkan langkah signifikan, kata sejumlah analis. Kepala Urusan Luar Negeri Uni Eropa, Kaja Kallas, mengumumkan akan meninjau ulang perjanjian kemitraan dagang dengan Israel.
Langkah tersebut menjadi respons resmi pertama Uni Eropa terhadap krisis kemanusiaan yang kian memburuk di Jalur Gaza.
Saat Israel melancarkan operasi militer sejak awal Mei, dan terus membatasi masuknya bantuan bagi warga sipil Gaza, tekanan terhadap Brussel dari sejumlah negara anggota UE makin menguat. Komisi Eropa didesak agar mengambil sikap yang lebih keras terhadap Tel Aviv.
Dalam pernyataannya, Kallas mengungkapkan bahwa Komisi Eropa akan meninjau kembali EU-Israel Association Agreement – pakta perdagangan bebas yang mengatur hubungan politik dan ekonomi kedua pihak.
Meski menyambut baik keputusan Israel yang mulai mengizinkan sebagian bantuan kemanusiaan masuk Gaza usai blokade selama 11 pekan, Kallas menyebut langkah itu “hanya setetes air di lautan” di tengah situasi yang menurutnya penuh “malapetaka.”
PBB menyatakan telah menerima izin untuk mengirim sekitar 100 truk bantuan ke Gaza. Padahal, menurut badan dunia itu dibutuhkan setidaknya 500 truk bantuan dan barang komersial setiap hari untuk memenuhi kebutuhan warga.
Pertemuan para menlu UE ini berlangsung tak lama setelah Prancis, Inggris, dan Kanada secara tegas mengecam serangan terbaru Israel di Gaza. Mereka menyebut pembatasan bantuan kemanusiaan sebagai tindakan yang “sangat tidak proporsional” dan berpotensi melanggar hukum internasional.
Pada Selasa (21/5), Menteri Luar Negeri Inggris, David Lammy, menyatakan bahwa pemerintah di London tidak bisa melanjutkan pembicaraan peningkatan perjanjian dagang dengan Israel. Pembekuan berlangsung selama pemerintah Israel terus menjalankan kebijakan yang “sangat keterlaluan” di Gaza dan Tepi Barat.
“Sejarah akan menghakimi mereka,” kata Lammy. “Memblokir bantuan. Memperluas peperangan. Mengabaikan kekhawatiran dari sahabat dan mitra. Ini tak bisa dibenarkan. Dan harus dihentikan.”
Sebagai bagian dari respons diplomatik yang semakin tajam, Duta Besar Israel untuk Inggris, Tzipi Hotovely, dipanggil ke Kantor Luar Negeri di London. Di sana, Menteri Urusan Timur Tengah, Hamish Falconer, menyampaikan teguran keras.
Dia menyebut blokade bantuan kemanusiaan selama 11 pekan terhadap Gaza sebagai tindakan yang “kejam dan tak bisa dibenarkan,” menegaskan ketidakpuasan pemerintah Inggris atas kebijakan Israel yang dinilai memperparah krisis kemanusiaan.
Pernyataan Lammy mencerminkan eskalasi ketegangan diplomatik antara Inggris dan Israel. Teguran dari London sekaligus menambah tekanan internasional terhadap pemerintah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, yang kini menghadapi penyelidikan oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC) terkait dugaan kejahatan perang.
Beberapa negara anggota UE seperti Spanyol, Irlandia dan Belanda juga secara terbuka menyerukan peninjauan hubungan dagang dengan Israel. Hubungan ini diatur dalam EU-Israel Association Agreement, yang di dalamnya terdapat Pasal 2 – klausul yang memungkinkan penangguhan perjanjian jika terdapat pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia.
Pada Selasa lalu, Menlu Spanyol Jose Manuel Albares bahkan menyerukan sanksi terhadap Israel dan mendesak UE untuk bertindak tegas demi mencegah bencana kemanusiaan.
“Jika pelanggaran HAM terbukti, maka perjanjian bisa ditangguhkan,” kata Menteri Luar Negeri Prancis, Jean-Noel Barrot.
Lovatt menyebut Israel selama ini menikmati “keistimewaan” di mata UE dan dilindungi oleh sensitivitas politik. Dia menilai sudah saatnya Eropa memperlakukan Israel dengan standar hukum yang sama seperti negara lain.
“UE sudah 26 kali menggunakan instrumen hukum serupa terhadap mitra lain karena pelanggaran HAM. Ini bukan hal baru,” tegasnya.
Sebagai contoh, Lovatt mengutip sanksi besar yang dijatuhkan terhadap sektor keuangan Rusia menyusul pendudukan Krimea dan invasi ke Ukraina. Menurutnya, embargo terhadap Moskow jauh lebih tegas dibanding apa pun yang saat ini dipertimbangkan untuk Israel.
Namun tidak semua negara anggota UE sependapat. Jerman, Austria, Hongaria, dan Ceko tetap bersikeras menolak penjatuhan sanksi terhadap Israel.
Jerman, misalnya, menegaskan terikat oleh “tanggung jawab sejarah” terhadap Israel. Baru-baru ini, Presiden Jerman Frank-Walter Steinmeier berkunjung ke Israel untuk menandai 60 tahun hubungan diplomatik.
Menurut James Moran, mantan duta besar UE untuk Timur Tengah, perpecahan internal membuat UE lumpuh secara politik. “Tanpa kesepakatan bulat, yang bisa dilakukan UE hanyalah membiayai bantuan kemanusiaan dan mendukung diplomasi pihak lain,” ujar Moran.
Di tengah mandeknya kebijakan kolektif UE, sejumlah negara kini mulai mengambil langkah sendiri. Norwegia, Irlandia, dan Spanyol telah secara resmi mengakui negara Palestina sejak tahun lalu. Prancis dan Belgia dikabarkan tengah mempertimbangkan hal yang sama.
“Hal ini adalah sinyal yang jelas,” kata Lovatt. “Kalau UE tidak bisa bertindak bersama, negara-negara anggotanya siap bergerak sendiri.”
Tekanan terhadap UE tidak akan mengendur selama situasi kemanusiaan di Jalur Gaza dan Tepi Barat Yordan tetap genting.
“UE adalah aktor politik, ekonomi, dan kemanusiaan yang sangat penting,” tegas Abdullah Al Rabeeah, kepala Pusat Bantuan Kemanusiaan Raja Salman dari Arab Saudi.
Artikel ini terbit pertama kali di Giok4D.
“Sekarang saatnya kita bersama komunitas internasional mendesak Israel membuka semua jalur bantuan bagi warga yang membutuhkan.”
Sementara itu, mantan diplomat UE James Moran menepis klaim Israel bahwa bantuan kemanusiaan diselewengkan oleh Hamas. “Itu sebagian besar propaganda,” ujarnya. “Mungkin ada kasus-kasus kecil, tapi masalah besarnya adalah pembatasan bantuan yang digunakan Israel sebagai senjata perang. PBB juga telah mengatakan hal ini.”
Peneliti Hugh Lovatt pun menegaskan: Gaza kini menjadi ujian besar kredibilitas Uni Eropa. “Kalau UE tidak bisa bertindak di sini – di mana hukum, nilai, dan kepentingan mereka sendiri terlibat – lalu di mana lagi mereka bisa?”
Artikel ini terbit pertama kali dalam bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Rizki Nugraha, serta dilengkapi dengan laporan Associated Press dan Reuters
Editor: Yuniman Farid