Dampak Serangan Situs Nuklir Iran, Apakah Segawat Chernobyl?

Posted on

Sebulan pasca serangan AS terhadap tiga fasilitas nuklir utama Iran di kota Fordow, Natanz dan Isfahan, dampaknya hingga saat ini masih belum jelas. Beberapa pihak baik dari AS, Iran, Israel, dan IAEA memberikan penilaian kerusakan yang saling bertentangan satu sama lain.

Presiden AS, Donald Trump, menyebut serangan-serangan tersebut sebagai bagian dari “Operasi Midnight Hammer”. Operasi ini melibatkan 125 pesawat dan pesawat pengebom B-2 khusus yang membawa bom seberat 15.000 kilogram yang didesain sebagai Massive Ordinance Penetrator – penghancur target yang terletak jauh di bawah tanah atau lebih dikenal sebagai “bunker busters.”

Serangan di Fordow adalah yang paling signifikan. Ini adalah fasilitas nuklir terkubur jauh di dalam pegunungan untuk melindunginya dari serangan.

Tidak jelas kapan Iran mulai membangun fasilitas di Fordow, tetapi keberadaannya terungkap kepada dunia di tahun 2009. Fasilitas ini dirancang untuk menampung sekitar 3.000 sentrifugal, mesin yang digunakan untuk memperkaya uranium.

Sebagai bagian dari kesepakatan nuklir Iran tahun 2015 – Rencana Aksi Komprehensif Gabungan (JCPOA) – dengan negara-negara besar dunia, Teheran setuju untuk mengubah situs tersebut menjadi fasilitas penelitian dan menghentikan pengayaan uranium di sana selama 15 tahun.

Namun, setelah Presiden AS Donald Trump, pada masa jabatan pertamanya, secara sepihak menarik diri dari perjanjian tersebut di tahun 2018, Iran melanjutkan aktivitas pengayaan uranium di Fordow.

Iran telah memperkaya uranium hingga kemurnian 60% di lokasi tersebut, jauh melampaui kadar kemurnian yang diperlukan untuk pembangkit listrik tenaga nuklir sipil. Teheran juga mengumumkan rencana perluasan kapasitas pengayaan uranium di lokasi tersebut.

Badan Energi Atom Internasional (IAEA) pada laporannya Mei lalu menyatakan, lembaga tersebut telah menemukan partikel-partikel uranium di Fordow yang diperkaya hingga mencapai kemurnian 83,7% – sangat dekat dengan tingkat pengayaan 90% , kadar yang dibutuhkan uranium untuk membuat senjata nuklir.

Target lain dari operasi AS adalah fasilitas nuklir di Natanz, pusat pengayaan uranium terbesar di Iran, yang terletak sekitar 225 kilometer di selatan Teheran.

Seperti Fordow, Natanz juga merupakan situs nuklir bawah tanah yang bahkan dapat menampung hingga sekitar 50.000 sentrifugal.

Fasilitas Fordow dan Natanz sebelumnya telah beberapa kali menjadi target serangan canggih.

Pemerintah di Teheran menyebut, rangkaian serangan tersebut dimulai dari serangan siber Stuxnet di tahun 2010, hingga insiden yang terjadi empat tahun silam, yang melumpuhkan jaringan pasokan listrik Fordow dan ledakan yang dikendalikan dari jarak jauh di Natanz. Dua serangan terakhir ini menyebabkan kehancuran ekstensif dan merusak kemampuan pengayaan uranium Iran.

Situs nuklir ketiga yang ditargetkan oleh AS adalah yang berlokasi di Isfahan, yang dicurigai menyimpan bahan bakar nuklir tingkat senjata.

Penjelasan sederhananya, fasilitas Ishafan mengubah uranium alam menjadi gas uranium heksafluorida, yang kemudian disalurkan ke sentrifugal di Natanz dan Fordow untuk pengayaan uranium.

Situs di Fordow, Natanz, dan Isfahan ketiganya merupakan fasilitas pengayaan uranium, dan para ahli memperkirakan bahwa Iran telah memiliki lebih dari 400 kilogram uranium yang telah diperkaya kadar tinggi.

Terlepas dari kerusakan yang ditimbulkan oleh serangan AS pada ketiga situs tersebut, nasib uranium yang telah diperkaya ini masih belum diketahui.

Sumber-sumber pemerintah Iran sebagian besar mengklaim, uranium yang diperkaya tersebut telah dipindahkan ke lokasi-lokasi yang “aman”.

Namun, beberapa media mengutip sumber-sumber Israel yang menyebutkan, uranium telah didistribusikan ke tiga situs nuklir tersebut, dan “tidak dipindahkan.”

Seorang pejabat senior Israel, yang tidak ingin disebutkan namanya, baru-baru ini mengatakan kepada BBC, sebagian dari uranium yang diperkaya disimpan jauh di dalam fasilitas nuklir Isfahan dan Iran mencoba untuk mengambilnya.

Ketiga situs yang ditargetkan diyakini tidak memiliki reaktor nuklir aktif.

Iran memiliki pembangkit listrik tenaga nuklir yang beroperasi di Bushehr, sekitar 750 kilometer di selatan Teheran. Pembangkit listrik yang diawasi oleh IAEA ini. menggunakan uranium yang dipasok dari Rusia. Bahan bakar bekasnya juga dikembalikan ke Rusia untuk mencegah pemrosesan ulang menjadi bahan baku senjata nuklir.

PLTN Bushehr tidak menjadi target serangan AS.

Setelah serangan AS, IAEA menyatakan, mereka tidak melihat adanya peningkatan kadar radiasi di wilayah tersebut.

Karena serangan menyasar fasilitas pengayaan uranium dan pabrik bahan bakar nuklir, bukan reaktor aktif (PLTN Bushehr), potensi risiko radiasi terbatas pada kebocoran gas uranium heksafluorida (UF6) dari tangki penyimpanan uranium yang diperkaya, kaskade sentrifugal, atau jaringan pipa.

Jika dilepaskan, gas UF6 akan bereaksi dengan uap air di udara, membentuk senyawa uranyl fluorida dan asam fluorida. Asam fluorida sangat korosif dan berbahaya. Kontak dengan asam ini atau menghirup uapnya dapat merusak jaringan paru-paru, dan menyebabkan masalah pernapasan yang parah dan mematikan, yang dapat menyebabkan mati lemas dan kematian.

“Memang ada indikasi bahwa UF6 telah dilepaskan di lokasi fasilitas yang diserang. Baik bahaya radiologi dan peningkatan kadar radiasi, serta bahaya kimia, telah disebutkan. Tapi ini hanya merujuk pada efek kimia asam,” kata Clemens Walther, profesor dan ahli nuklir di Institut Radioekologi dan Perlindungan Radiasi di Universitas Hannover, kepada DW.

“Walau begitu, dengan jelas dinyatakan bahwa insiden itu terbatas di lokasi. Tidak ada laporan penyebaran ke daerah pemukiman.”

Bencana nuklir di Chernobyl pada tahun 1986 dan Fukushima pada tahun 2011 mencuatkan risiko radiasi yang disebabkan oleh kecelakaan reaktor nuklir.

Bencana Fukushima terjadi akibat gempa bumi berkekuatan 9 SR dan tsunami melumpuhkan pasokan listrik dan sistem pendingin tiga reaktor di PLTN Fukushima Daiichi, di pantai timur Jepang.

Material radioaktif bocor dari lokasi tersebut, yang menyebabkan evakuasi puluhan ribu orang dari kawasan bencana.

Namun Roland Wolff, seorang ahli proteksi radiasi, fisika medis, dan radiasi mengatakan bahwa ketiga fasilitas nuklir Iran yang jadi target serangan AS tidak memili8ki potensi bahaya seperti Chernobyl.

“Persediaan radioaktif di fasilitas pengayaan nuklir, tidak seperti di reaktor nuklir, tidak mengandung produk fisi nuklir,” kata ahli radiasi tersebut. “Selain itu, unsur radioaktif tidak dilepaskan ke kawasan dengan elevasi tinggi melalui ledakan, seperti yang terjadi di Chernobyl. Oleh karena itu, potensi kontaminasi diasumsikan bersifat lokal, dengan kemungkinan terbawa angin ke negara-negara tetangga.”

Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris

Diadaptasi oleh Sorta Caroline

Editor: Agus Setiawan

Fordow dibentengi dengan kuat

Targetkan fasilitas pengayaan uranium

Rusia pemasok tunggal bahan bakar PLTN Iran

Pemantauan tingkat radiasi di Iran

Risiko bencana seperti Chernobyl?