Boikot Turki yang dilakukan secara bertahap — didorong oleh sentimen publik di India dan diperkuat oleh kampanye di media sosial — telah berdampak pada ekonomi dan hubungan diplomatik.
Dua minggu lalu, pertempuran mematikan meletus antara India dan Pakistan setelah New Delhi menyerang apa yang digambarkannya sebagai “infrastruktur teroris” di Pakistan dan Kashmir di bawah administrasi Pakistan.
India melancarkan serangan balasan setelah aksi serangan mematikan terhadap wisatawan di Kota Pahalgam di Kashmir yang berada di bawah administrasi India, yang menewaskan 26 wisatawan.
New Delhi mengatakan, kelompok yang bermarkas di Pakistan, Lashkar-e-Taiba, yang sudah ditetapkan PBB sebagai kelompok teroris, telah melakukan serangan itu dan menuduh Islamabad mendukungnya. Pemerintah Pakistan membantah tuduhan tersebut.
Eskalasi militer yang cepat terjadi setelahnya, dengan kedua negara saling menyerang dengan rudal dan pesawat nirawak, yang menargetkan instalasi militer masing-masing.
Ketegangan meluas, seiring Turki dan Azerbaijan, negara-negara berpenduduk mayoritas muslim yang merupakan tujuan liburan murah bagi warga India, sama-sama mengeluarkan pernyataan yang mendukung Islamabad dalam konflik tersebut.
Kampanye di media sosial dan kemarahan publik memicu seruan boikot, dengan tagar seperti #BoycottTurkey yang semakin populer.
Pariwisata ke Turki, yang dikunjungi sedikitnya 274.000 turis India tahun lalu, anjlok — dengan pemesanan turun 60% dan pembatalan naik 250%, demikian informasi dari agen perjalanan. Platform perjalanan populer seperti EaseMyTrip, MakeMyTrip, dan Ixigo telah menangguhkan pemesanan tiket dan hotel, menghentikan promosi, dan mengeluarkan imbauan perjalanan.
Presiden Partai Bharatiya Janata Kerala, Rajeev Chandrasekhar mengatakan kepada wartawan; “Setiap warga India pekerja keras yang bepergian ke luar negeri sebagai turis kini memahami, uang yang dicari dengan susah payah tidak boleh dibelanjakan untuk mereka yang membantu musuh negara kita.”
Minggu lalu, kementerian penerbangan sipil India juga mencabut izin keamanan perusahaan penerbangan Turki Celebi, yang menyediakan layanan darat di bandara-bandara besar India, dengan alasan yang terkait dengan “keamanan nasional”. Celebi telah mengajukan gugatan hukum atas keputusan tersebut.
Menteri Penerbangan Junior India, Murlidhar Mohol, saat mencabut izin Celebi memosting pernyataan di X, pemerintah telah menerima permintaan untuk mencabut izin Celebi. “Menyadari keseriusan masalah ini dan seruan untuk melindungi kepentingan nasional, kami telah memperhatikan permohonan ini,” ujar Mohol.
Para pedagang juga mulai menolak barang-barang yang diekspor dari Turki, mulai dari buah apel, marmer hingga cokelat, kopi, dan selai. Dalam konferensi perdagangan nasional di New Delhi yang diselenggarakan oleh Konfederasi Pedagang Seluruh India, lebih dari 125 pemimpin perdagangan terkemuka sepakat untuk memboikot semua transaksi bisnis dengan Turki dan Azerbaijan.
Di bidang pendidikan, Institut Teknologi India terkemuka di Mumbai bergabung dengan beberapa lembaga pendidikan terkemuka lainnya, seperti Universitas Jawaharlal Nehru dan Jamia Millia, untuk membatalkan perjanjian dengan universitas-universitas Turki.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan telah lama menganjurkan solusi “multilateral” untuk sengketa Kashmir, sesuatu yang selalu ditentang India.Erdogan telah mengunjungi Pakistan beberapa kali. Perjalanan terakhirnya adalah pada bulan Februari, ketika ia tiba dengan delegasi untuk meningkatkan hubungan perdagangan dan militer dengan Islamabad.
Pada tahun 2017, Erdogan mengadakan pembicaraan dengan Perdana Menteri India Narendra Modi untuk meningkatkan kerja sama ekonomi dan upaya kontraterorisme.
Profesor madya di Pusat Studi Asia Barat, Muddassir Quamar, mengatakan kepada DW bahwa posisi Turki terhadap Pakistan tidak dihargai di India, karena Ankara dianggap tidak mau atau gagal melihat masalah tersebut dengan sikap imparsial dan netral.
“Harapan di New Delhi adalah agar Ankara melihat situasi bukan melalui kaca mata Pakistan, seperti yang saat ini terjadi. Hingga ada perubahan dalam posisi Turki, hubungan tersebut kemungkinan tidak akan membaik,” tandas Quamar.
Prasanta Kumar Pradhan, seorang peneliti dan koordinator Pusat Asia Barat di Institut Manohar Parrikar untuk Studi dan Analisis Pertahanan, juga mengatakan bahwa pemulihan hubungan antara India dan Turki kemungkinan akan memakan waktu.
Pradhan mengatakan kepada DW , boikot tersebut akan memiliki “dampak terbatas,” dan “tidak cukup signifikan untuk memengaruhi perdagangan bilateral secara serius.”
“Namun, jika boikot berlanjut dalam jangka waktu yang lama, hal itu berpotensi berdampak lebih negatif pada hubungan perdagangan antara kedua negara,” imbuhnya.
India mengekspor barang senilai $5,2 miliar ke Turki antara April 2024 dan Februari 2025, menurut data pemerintah India. Barang ekspor utama meliputi mineral, bahan bakar minyak, mesin listrik, suku cadang dan kendaraan otomotif, farmasi, tekstil, dan kapas.
Dan selama kurun waktu yang sama, India mengimpor barang senilai $2,84 miliar dari Turki, termasuk marmer dan batu alam lainnya, apel dan buah lainnya, emas dan logam mulia, mineral, dan produk minyak bumi. Masih belum jelas bagaimana boikot akan berjalan dan seperti apa arah hubungan kedua negara.
“Saat ini, menjalin hubungan tingkat tinggi dengan Turki akan menjadi tantangan. Akibatnya, ketegangan diperkirakan akan terus berlanjut di masa mendatang,” kata Pradhan.
Air India baru-baru ini melobi pejabat tinggi India, untuk menghentikan kerja sama sewa maskapai penerbangan bertarif rendah IndiGo dengan Turkish Airlines, dengan alasan dampak bisnis serta masalah keamanan yang dipicu oleh dukungan Istanbul untuk Pakistan, demikian kantor berita Reuters melaporkan.
Bahkan sebelum ketegangan yang pecah baru-baru ini, India telah mengakhiri perjanjian konsultasi pembuatan kapal senilai $2 miliar dengan Anadolu Shipyard milik Turki. Kesepakatan tersebut melibatkan pembangunan lima Kapal Pendukung Armada untuk Angkatan Laut India di Hindustan Shipyard milik India, dengan dukungan teknologi dan teknik dari Anadolu.
“Secara resmi, India mengutip kebijakannya untuk meningkatkan kapasitas pembuatan kapal lokal sebagai alasan penghentian, tetapi secara luas diyakini bahwa ketidaknyamanan India dengan hubungan dekat Turki dengan Pakistan memainkan peran penting,” ujar mantan anggota Sekretariat Dewan Keamanan Nasional India, Tara Kartha kepada DW.
Mantan Duta Besar untuk Turki, Sanjay Bhattacharyya mengingatkan, India perlu bersikap cerdas dan strategis, dengan memprioritaskan kepentingan nasional dan kedudukan globalnya.
*Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Ayu Purwaningsih
Editor: Agus Setiawan
Simak juga video “Kashmir Memanas, Erdogan Minta Pakistan-India Menahan Diri” di sini: