Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi yang diajukan mantan Dirut Garuda Indonesia, , dalam kasus korupsi pengadaan pesawat. Namun, MA mengurangi jumlah uang pengganti yang dibebankan kepada Emirsyah.
“Tolak perbaikan,” demikian tertulis dalam putusan kasasi nomor 2507 K/PID.SUS/2025 seperti dilihat di situs MA, Senin (21/7/2025).
Putusan tersebut diketok oleh majelis kasasi yang diketuai Dwiarso Budi Santiarto dengan anggota Agustinus Purnomo dan Achmad Setyo Pudjoharsoyo. Hakim menyatakan Emirsyah terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 3 juncto Pasal 18 ayat (1) huruf b.
“UP (Uang pengganti) Rp 817.722.935.892 (Rp 817 miliar) subsider 5 tahun penjara,” demikian tertulis dalam situs tersebut.
Sebelumnya, Emirsyah Satar divonis 5 tahun penjara dan denda Rp 500 juta dalam kasus pengadaan pesawat CRJ-1000 dan ATR 72-600. Hakim juga menghukum Emirsyah membayar uang pengganti USD 86.367.019 atau setara Rp 1,4 triliun jika dihitung dengan kurs saat ini Rp 16.382.
“Menghukum Terdakwa untuk membayar uang pengganti sejumlah USD 86.367.019,” kata ketua majelis hakim Rianto Adam Pontoh saat membacakan amar putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Rabu (30/7/2024).
Majelis hakim menyatakan kerugian keuangan negara terkait pengadaan pesawat CRJ-1000 dan ATR 72-600 pada PT Garuda Indonesia mencapai USD 609.814.504 atau setara Rp 9 triliun. Namun, hakim hanya menghukum mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar membayar uang pengganti USD 86 juta atau sekitar Rp 1,4 triliun.
“Menimbang bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum yang telah dipertimbangkan dalam unsur-unsur sebelumnya, ternyata setelah dilakukan audit oleh BPKP, terdapat kerugian keuangan negara cq PT Garuda Indonesia Tbk terkait dengan pengoperasian pesawat sub 100 Seater CRJ 1000 dan Turbo Propeller (ATR 72-600) sebesar USD 609.814.504 sebagaimana laporan hasil audit penghitungan kerugian negara atas dugaan korupsi tindak pidana korupsi pengadaan pesawat udara sub 100 Seater CRJ 1000 dan Turbo Propeller ATR 72-600 pada PT Garuda Indonesia Tbk tahun 2011 sampai 2021 tertanggal 13 Juni 2022,” kata ketua majelis hakim Rianto Adam Pontoh saat membacakan pertimbangan vonis Emirsyah Satar.
Dalam pertimbangannya, hakim menyebut setiap anggota direksi bertanggung jawab penuh terhadap kerugian perseroan jika lalai menjalankan tugasnya. Hakim menyatakan hal itu sesuai dengan keterangan ahli dalam persidangan serta dalam ketentuan Pasal 97 Ayat 3 UU Nomor 40/2007 tentang Perseroan Terbatas.
Hakim mengatakan tak tepat jika ganti rugi keuangan negara dalam hal ini PT Garuda Indonesia dibebankan ke pihak lain di luar direksi, termasuk ke pengusaha Soetikno Soedarjo, yang telah divonis bebas dalam perkara ini. Hakim menyatakan kerugian itu merupakan tanggung jawab direksi, termasuk Emirsyah Satar yang saat itu menjabat Dirut.
“Menimbang bahwa oleh karena kerugian keuangan negara pada PT Garuda Indonesia Persero Tbk terjadi pada pengoperasian pesawat Sub 100 Seater CRJ1000 dn Turbo Propeller ATR 72-600, maka yang harus bertanggung jawab adalah para direksi dan jajaran manajemen PT Garuda Indonesia Persero Tbk dan tidak tepat apabila orang di luar jajaran direksi dan manajemen PT Garuda Indonesia Persero Tbk seperti halnya saksi Soetikno Soedarjo diminta untuk bertanggung jawab terhadap kerugian operasional yang terjadi di dalam PT Garuda Indonesia Persero Tbk,” ujar hakim.
Emirsyah kemudian mengajukan kasasi dan hukumannya diperberat menjadi 10 tahun penjara. Hakim banding tetap menghukum Emirsyah membayar uang pengganti USD 86.367.019 atau setara Rp 1,4 T.