Sabin Kumar Chettri, seorang pengemudi taksi di Kathmandu, meninggalkan mobil berbahan bakar bensin pada tahun 2024 dan beralih ke kendaraan listrik. Dia adalah salah satu pengadopsi awal kendaraan listrik di Nepal. Kini makin banyak pengendara mobil yang beralih ke kendaraan listrik atau electric vehicle (EV).
“Teknologi kendaraan listrik semakin berkembang di seluruh dunia, dan saya ingin merasakannya, jadi saya segera beralih dari kendaraan boros bahan bakar ke kendaraan listrik yang ramah lingkungan,” kata Sabin Kumar Chettri kepada DW.
“Saya berkendara sekitar 130 kilometer setiap hari dengan penumpang dan menghasilkan sekitar 11.000 rupee Nepal (sekitar Rp. 1,3 juta). Biaya pengisian listrik hanya 500 rupee. Saat ini, pengemudi kendaraan listrik tidak perlu khawatir mencari stasiun pengisian daya karena tersedia setiap 50 hingga 100 kilometer. Selain itu, perusahaan kendaraan listrik menyediakan layanan servis gratis hingga 160.000 kilometer, yang sangat menghemat biaya kami,” ujar Chettri.
Nepal telah menyaksikan peningkatan dramatis dalam adopsi kendaraan listrik — dari hanya 250 unit EV pada tahun 2020 menjadi lebih dari 13.000 unit pada tahun 2024. Lebih dari 70% kendaraan penumpang roda empat yang baru diimpor kini bertenaga listrik, sebuah perubahan luar biasa yang didorong oleh kebijakan pemerintah yang mendukung dan meningkatnya minat publik. Ini adalah bagian dari strategi nasional untuk mengurangi emisi karbon sekaligus mengubah mobilitas perkotaan.
“Kami melihat peningkatan yang nyata dalam keinginan dan permintaan kendaraan listrik dari konsumen, terutama karena EV dikenakan pajak lebih rendah daripada kendaraan bermesin pembakaran internal,” kata Suresh Shrestha, insinyur divisi senior dan kepala Pusat Uji Kelayakan Kendaraan(VFTC di Kementerian Infrastruktur Fisik dan Transportasi Nepal MoPIT, kepada DW. “Dan saat ini, kendaraan listrik menawarkan jangkauan dan fitur yang serupa dibandingkan dengan kendaraan bertenaga mesin pembakaran internal,” tambahnya.
Pemerintah Nepal juga telah mencanangkan agenda kendaraan listrik yang ambisius. Mereka menargetkan mulai tahun 2030 90% kendaraan roda empat pribadi baru dan 60% kendaraan roda empat umum baru yang terjual mulai tahun adalah kendaraan listrik — salah satu target terberani di kawasan ini.
“Untuk mencapai tujuan ini, pemerintah mengurangi tarif dan berinvestasi di seluruh ekosistem kendaraan listrik dengan meningkatkan infrastruktur dan memaksimalkan pemanfaatan tenaga air yang bersih dan andal,” tegas Shrestha.
Kathmandu termasuk salah satu kota paling tercemar di dunia. Kualitas udara yang buruk merupakan kenyataan sehari-hari bagi jutaan penduduk. Udara ibu kota diperkirakan 20 hingga 35 kali lebih tercemar daripada tingkat PM2.5 yang direkomendasikan Organisasi Kesehatan Dunia WHO.
Penyumbang utama meliputi emisi dari sekitar 1,75 juta kendaraan, kebakaran hutan musiman, asap dari pabrik batu bata, debu dari lokasi konstruksi dan praktik pembakaran sampah terbuka yang meluas. Bersama-sama, sumber-sumber ini telah menciptakan lapisan racun di atas kota, yang mengancam kesehatan manusia dan kelestarian lingkungan.
Masalah polusi udara menyebar jauh melampaui ibu kota, dengan banyak wilayah di negara Himalaya itu yang terkena dampaknya. Menurut Bank Dunia, polusi udara menyebabkan sekitar 26.000 kematian setiap tahun di Nepal, menjadikannya krisis kesehatan masyarakat yang besar.
Dengan latar belakang ini, kendaraan listrik memainkan peran utama dalam membantu negara ini keluar dari daftar tempat paling tercemar di dunia. Namun Nepal masih baru dalam teknologi kendaraan listrik dan mengandalkan impor dari negara tetangga Cina dan India untuk hampir semua kendaraan listrik yang beroperasi di jalan-jalannya.
“Tentu saja, tantangan tetap ada, terutama terkait standar impor dan kurangnya teknisi terampil,” kata Suresh Shrestha. Nepal unggul dalam adopsi kendaraan listrik dan mengambil langkah proaktif untuk mengurangi emisi karbon. Bahan bakar fosil suatu hari nanti akan habis, tetapi dengan melimpahnya tenaga hidro bersih, Nepal berada di posisi yang tepat untuk mendorong peralihan ke transportasi berkelanjutan.
Artikel ini pertama kali dirilis dalam bahasa Inggris
Diadaptasi oleh: Hendra Pasuhuk
Editor: Rizki Nugraha