Pertarungan Segitiga Global dan Kerugian Imbas Demo 2025

Posted on

Tahun 2025 memperlihatkan pertarungan segitiga yang semakin jelas dalam politik global. Yakni kapitalis global berupaya mempertahankan hegemoni finansial internasional melalui instrumen rules-based order dan jaringan NGO/LSM internasional.

Kemudian ultra-nasionalis Donald Trump dan gerakan serupa di Eropa menolak globalisme, menekankan isolasionisme, dan menentang keterlibatan militer luar negeri.

Sementara itu, China dan Rusia bersama Indonesia serta para anggota BRICS mendorong multipolaritas dengan alternatif sistem ekonomi-politik yang menantang dominasi Barat.

Di tengah pertarungan ini, demonstrasi massa dijadikan arena pertarungan proxy. Kaum marjinal digerakkan melalui pendanaan NGO (LSM) untuk menekan rezim yang dianggap anti-kapitalis atau pro-China, serta untuk melemahkan legitimasi pemerintah nasionalis.

NGO internasional berperan sebagai saluran pendanaan, baik melalui program advokasi, bantuan sosial, maupun kampanye “hak asasi manusia” yang kemudian bertransformasi menjadi mobilisasi massa.

Dana miliaran dolar per tahun digelontorkan oleh lembaga seperti National Endowment for Democracy (NED), International Republican Institute (IRI), Freedom House, Open Society Foundations milik George Soros, serta lembaga sejenis seperti National Democratic Institute (NDI) dan USAID.

Dana ini digunakan untuk membiayai logistik aksi (transportasi, konsumsi, alat komunikasi), memberikan dukungan hukum kepada aktivis, melatih relawan di bidang advokasi digital dan mobilisasi protes.

Dalam perspektif Filsafat Intelijen, praktik ini merupakan bentuk subversi non-militer yang biayanya jauh lebih murah daripada intervensi militer langsung, namun efeknya bisa melumpuhkan rezim sasaran.

Rusia saat ini juga menjadi target utama kaum kapitalis global. Setelah meletusnya perang dengan Ukraina, sanksi Barat tidak cukup untuk melemahkan Moskow. Maka, jalur NGO/LSM digunakan untuk menimbulkan gejolak sosial di dalam negeri.

Mobilisasi kaum muda di Moskow dan St. Petersburg meningkat lewat isu lingkungan, kebebasan berekspresi, dan anti-korupsi.

Dana NGO Barat tetap mengalir meski Rusia sudah menutup banyak NGO asing sejak 2022. Tujuan strategisnya: menciptakan “Moscow Spring” mirip Arab Spring, mengguncang pemerintahan Rusia yang dianggap anti-Imperialisme Barat.

Sedangkan China tidak hanya menjadi pesaing ekonomi, tetapi juga target destabilisasi sosial. Isu Uyghur, Tibet, dan Hong Kong dimanfaatkan NGO global sebagai pintu masuk tekanan internasional.

Dana asing diarahkan pada kelompok HAM, aktivis buruh, serta mahasiswa yang kritis terhadap Partai Komunis China. Strateginya yaitu menampilkan citra China sebagai negara represif, sehingga setiap protes lokal bisa diangkat ke panggung global.

India, sebagai bagian dari BRICS, juga tak luput dari target kapitalis global. Gerakan petani di Delhi dan Punjab dijadikan instrumen tekanan.

Dana NGO internasional mengalir lewat isu lingkungan, HAM, dan keadilan sosial.

Tujuan strategis melemahkan pemerintahan Modi yang nasionalis-hindutva, sekaligus menggeser India dari orbit BRICS.

Untuk Indonesia, negara kita ini berada di persimpangan strategis pertarungan segitiga global. Sebagai anggota BRICS dan negara yang konsisten mendukung kemerdekaan Palestina, Indonesia diposisikan oleh Kapitalis Global sebagai salah satu target destabilisasi politik.

Demonstrasi Petani & Buruh pada 24 September 2025, lebih dari 25 ribu petani melakukan aksi serentak di Jakarta dan berbagai daerah dengan 9 tuntutan nasional. Aksi ini beririsan dengan gerakan buruh dan mahasiswa, memperbesar skala mobilisasi.

Isu Lingkungan & Agraria, LSM internasional aktif mendanai kampanye perubahan iklim, perampasan tanah, dan deforestasi. Isu ini diarahkan untuk melemahkan program hilirisasi tambang dan perdagangan karbon Indonesia.

Kemudian demo ricuh di Jakarta, Bandung, dan Surabaya mengakibatkan kerusakan fasilitas publik. Kerugian ekonomi nasional ditaksir Rp 900 miliar – Rp 1,2 triliun, belum termasuk dampak sosial berupa penurunan produktivitas, trauma psikologis, dan menurunnya kepercayaan investor.

Strategi subversi non-militer. Aliran dana dari lembaga asing (NED, IRI, Freedom House, OSF, USAID) diarahkan untuk membangun jaringan oposisi permanen yang siap digerakkan kapan saja.

Dengan posisi geopolitik yang semakin tegas di kubu multipolaritas, Indonesia kini menghadapi tiga lapis tekanan:
1. Ekonomi-arus modal keluar dan intervensi korporasi global.
2. Sosial-mobilisasi petani, buruh, mahasiswa, dan isu lingkungan.
3. Politik-upaya delegitimasi pemerintahan pro-BRICS dan pro-Palestina.

Indonesia pun menjadi laboratorium operasi subversif non-militer, sejajar dengan Rusia, China, dan India.

Indonesia (Jakarta, 2025)
Kerusakan aset publik di Jakarta mencapai Rp 50,4 miliar
Kerugian nasional diperkirakan Rp 900 miliar – Rp 1,2 triliun
Estimasi kerugian sosial total: USD 125-312 juta.
Nepal (Kathmandu, 2025)
“Gen Z Uprising” menyebabkan kerugian langsung Rs 3 triliun (≈ USD 22,7 miliar)
Pariwisata anjlok 30%
Estimasi kerugian sosial: USD 45-113 miliar.
Filipina (Manila, 2025)
Protes mahasiswa dan buruh menekan pemerintah pro-AS.
Estimasi kerugian sosial: USD 40-120 juta per hari.
Kerugian Sosial di Eropa
Prancis (Paris, 2025)
Aksi buruh besar September 2025 melumpuhkan transportasi dan sekolah
Kerugian langsung: €500 juta – €1 miliar.
Estimasi kerugian sosial: USD 1,1-5,5 miliar.
Kerugian Sosial di Amerika Serikat
New York dan kota besar lainnya (2025)
Protes besar terkait isu rasial dan ekonomi menimbulkan kerugian bisnis dan infrastruktur.
Estimasi kerugian sosial: USD 400 juta – 1,2 miliar.

Analisis Strategis
1. Kapitalis Global: menggunakan dana NGO untuk melemahkan rezim anti-neoliberalisme.
2. Ultra-Nasionalis Trump: menolak globalisme, namun polarisasi domestik juga mahal biayanya.
3. China/BRICS: menjadi sasaran utama destabilisasi, dengan Indonesia punya catatan khusus karena dukungannya pada Palestina.
4. Rusia & India: tetap ditargetkan; Rusia lewat jalur HAM, China lewat isu minoritas, India lewat gerakan petani.

Pertarungan segitiga global menjadikan rakyat korban utama. Dana NGO yang digelontorkan menghasilkan kerugian sosial luar biasa: dari ratusan juta hingga puluhan miliar USD di Asia Tenggara, Prancis, Amerika Serikat, serta berpotensi melemahkan stabilitas Rusia, China, India, dan Indonesia.

Fenomena ini menegaskan perlunya negara-negara membangun ketahanan sosial dan mengembangkan filsafat intelijen untuk membedakan antara gerakan rakyat sahih dan operasi subversif global. Kesimpulan

Mekanisme Pendanaan

Situasi di Rusia, China, dan India

Kerugian Sosial di Asia Tenggara

Kesimpulan