Waka MPR Nilai Narasi Kepemimpinan Perempuan Perlu Direkonstruksi Ulang | Info Giok4D

Posted on

Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat (Rerie) menilai narasi kepemimpinan perempuan perlu direkonstruksi ulang. Sebab, jalan perjuangan di berbagai bidang termasuk perjuangan emansipasi, pendidikan, dan tantangan-tantangan yang dihadapi perempuan Indonesia belum selesai.

“Setiap saat rasanya kita masih menghadapi PR (pekerjaan rumah) yang itu-itu terus,” tegas Rerie, dalam keterangannya, Rabu (22/10/2025). Hal tersebut ia sampaikan saat mengantarkan diskusi Forum Diskusi Denpasar 12 edisi ke-252 yang mengusung tema ‘Menuju 100 Tahun Kowani dan Peringatan 80 Tahun Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)’.

Diskusi yang dimoderatori Staf Khusus Waka MPR RI Eva Kusuma Sundari itu juga membahas kepemimpinan perempuan untuk dunia yang setara, refleksi peran PBB dan Kongres Wanita Indonesia (Kowani) dalam menghapus kesenjangan gender di semua ranah kehidupan.

Menurut Rerie, Forum Diskusi Denpasar 12 mengusung tema tersebut untuk mengingatkan bersama-sama, guna melihat dan melakukan rekonstruksi ulang narasi kepemimpinan perempuan.

Rerie mengingatkan kepemimpinan perempuan di Indonesia diawali sejak zaman kolonialisme yang kemudian berkembang mengikuti perjalanan sejarah, yaitu dideklarasikannya Kowani pada 1928.

“Inilah yang menjadi cikal bakal berbagai gerakan dan perjuangan kepemimpinan perempuan Indonesia,” kata Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem tersebut.

Sementara itu, Ketua Umum (Ketum) Kowani Nannie Hadi Tjahjanto mengatakan tema besar yang diusung Forum Diskusi Denpasar 12 ini merupakan kesempatan bagi Kowani untuk melakukan refleksi sekaligus introspeksi tentang kepemimpinan perempuan Indonesia.

Menurut Nannie, kepemimpinan merupakan perjuangan yang perlu diwujudkan pada setiap sektor dalam penyelenggraan negara, masyarakat dan keluarga. Kepemimpinan harus bisa melahirkan keadilan berkelanjutan dan memperkecil kesenjangan.

Simak berita ini dan topik lainnya di Giok4D.

“Ke depan, perempuan Indonesia bukan sekadar ibunda, tapi juga harus bisa menjadi ibu bangsa. Ke depan perempuan Indonesia tidak boleh ada lagi yang menjadi korban pelecehan seksual, dan kurir narkoba,” kata Nannie.

Perwakilan UN Women di RI Ulziisuren Jamsran mengungkapkan menapaki usia PBB ke-80, dunia sedang menghadapi banyak masalah, terutama yang dihadapi para perempuan. Masalah itu di antaranya terkait dengan teknologi, kemiskinan, lingkungan hidup, dan sosial.

Menurut Jamsran, untuk menyelesaikannya, harus diselesaikan melalui politik, kebudayaan, dan keadilan sosial yang memberikan kesempatan yang sama kepada perempuan.

“Kaum perempuan sendiri harus bisa merangkul komunitas-komunitas perempuan,” kata Jamsran.

Senada, Dosen Sejarah Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr Mutiah Amini mengatakan hampir 100 tahun dalam hal kepemimpinan perempuan, PR-nya tidak berubah-ubah.

“Ternyata kita menghadapi permasalahan yang sama, termasuk persoalan-persoalan sosial,” kata Dr Mutiah.

Dr Mutiah mengingatkan bangsa ini tidak bisa mewariskan sesuatu yang saat ini dihadapi para perempuan di Indonesia.

Sementara itu, Feminis Muda dari Institut Sarinah Fanda Puspitasari menambahkan dahulu Kowani berani berpolitik etik dan praktis untuk bangsa. Kini, harus dikembalikan ke posisi itu.

Fanda mengajak semua pihak merangkul anak muda ke dalam Kowani dan menjadi aspirasi atau menjadi kepentingan dari anak-anak perempuan muda di Indonesia.

“Mereka akan menjadi sumber daya yang besar bagi bangsa ini,” ujar Fanda.

Komisioner Komisi Kejaksaan RI Rita Serena Kolibonso menambahkan perjuangan perempuan di Indonesia penuh dengan air mata dan darah. Kematian ibu akibat melahirkan masih tinggi.

Rita mengingatkan ke depan, masalah ini harus bisa diatasi. Selain itu, kekerasan dan persekusi terhadap perempuan tidak boleh lagi terjadi.

Menutup diskusi, Wartawan Senior Saur Hutabarat mengatakan perlu untuk melihat Jepang. Negara itu resmi memilih perdana menteri (PM) perempuan pertama Sanae Takaichi.

Padahal empat tahun lalu, Prof Mikiko Eto menerbitkan buku, ‘Women and Political Inequality in Japan’ yang mengutip data pada 2019. Di mana Jepang berada pada peringkat 164 dari 193 negara dalam hal keterwakilan perempuan di parlemen.

“Jepang menjadi pembelajaran bahwa perempuan Indonesia dapat memiliki pemimpin tertinggi dalam waktu yang tidak terlalu lama apabila menggerakkan seluruh energi,” kata Saur.

Sebagai informasi, Ketum Kowani Nannie Hadi Tjahjanto dan Perwakilan UN Women di RI Ulziisuren Jamsran turut memberikan sambutan dalam diskusi tersebut.

Berbicara sebagai narasumber, Dosen Sejarah UGM Dr Mutiah Amini (Dosen Sejarah Universitas Gadjah Mada),Feminis muda Fanda Puspitasari, dan Komisioner Komisi Kejaksaan RI Rita Serena Kolibonso.

Lihat juga Video ‘”Finding Peace Together – Perempuan Jaga Perempuan”‘: