Alkisah, sebagaimana diceritakan dalam kitab Babat Pati, ada seorang tokoh bernama Yuyurumpung, yang digambarkan sebagai orang yang ambisius ingin menguasai Keris Rambut Pinutung dan Kuluk Kanigara. Siapa yang tak terpikat dengan pusaka itu, sebab konon, barang siapa memiliki dua pusaka tersebut, dipercaya akan menjadi penguasa Pulau Jawa.
Demi hasratnya, Yuyurumpung terdorong untuk mencuri pusaka itu dari pemiliknya, Raden Sukmayana. Meskipun akhirnya upaya yang dilakukannya gagal.
Pusaka tersebut bukan hanya hadir dalam cerita rakyat masyarakat Pati. Tapi dalam perkembangannya, pusaka itu menjadi simbol kekuatan dan kewibawaan, bahkan diabadikan dalam logo Kabupaten Pati hari ini.
Tak hanya itu, dalam konteks kekuasaan masa kini, Keris Rambut Pinutung dan Kuluk Kanigara termanifestasi dalam bentuk kepercayaan, pengakuan, dan dukungan rakyat. Jika kita tarik dalam realitas politik hari ini, pusaka itu ibarat mandat publik, dengan mandat itulah seorang pemimpin dapat menjalankan kekuasaannya yang sah.
Masih tentang Pati dan pusakanya, tapi bukan lagi tentang ambisi Yuyurumpung. Sorotan publik kini tertuju pada Sudewo, Bupati Pati yang berhasil mendapatkan mandat dan dukungan 53,54 persen suara pada Pilkada 2024 lalu. Namun, kini ia menuai protes besar-besaran hingga mengarah pada proses pemakzulan.
Mulanya, sikap Bupati Sudewo seolah ingin menegaskan bahwa, dengan pusaka yang dimilikinya, kekuasaan sepenuhnya sudah ada pada dirinya. Sikap itu ditunjukkan dengan menentang warganya yang menolak kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) sebesar 250 persen.
Dari video yang beredar, Bupati Sudewo mengatakan “Jangan hanya 5 ribu orang, 50 ribu orang suruh kerahkan, saya tidak akan gentar, saya tidak akan mengubah keputusan.“
Pernyataan itu menuai polemik hingga ribuan warga Pati turun ke jalan pada hari Minggu kemarin (infoNews, 13/8/2025). Warga Pati mendesak Bupati Sudewo mundur dari jabatannya. Lalu setelah perwakilan massa berhasil menduduki gedung DPRD, akhirnya DPRD Pati merespon itu dan sepakat mengusulkan pembentukan pansus pemakzulan Bupati Pati.
Peristiwa itu menjadi cermin bahwa legitimasi hasil Pilkada (53,54%) bukanlah pusaka yang memiliki kekuatan tanpa batas. Dalam politik elektoral, rasa perca diri yang berlebihan (over-confidence) cenderung menjadi awal retaknya kepercayaan publik. Sehingga sebagai pemimpin tidak perlu menunjukkan sikap arogan dalam mengemban kekuasaannya.
Di titik ini, cerita mulai berubah, dari protes kebijakan PBB 250 persen-yang seharusnya dapat diselesaikan dengan cara musyawarah, justru menjadi soal yang lebih rumit, yakni tuntutan pemakzulan yang juga sebagai tanda krisis legitimasi.
Dari sini kita melihat bahwa legitimasi kekuasaan di Indonesia itu mengikuti zamannya. Di masa kerajaan, simbol-simbol seperti keris yang sakti menjadi sumber wibawa seorang pemimpin, sehingga semakin sakti pusaka yang dimilikinya, semakin absolut dan mutlak kekuasaannya.
Namun sebaliknya, dalam sistem demokrasi, justru pusaka yang dimiliki seorang pemimpin membatasi kekuasaannya, karena kekuasaan tanpa penyeimbang sangat berbahaya.
Sebelum kembali ke Pati, dari Amerika kita akan belajar tentang kekuasaan. Seorang ilmuwan politik, James Burnham, dalam bukunya The Machiavellians: Defenders of Freedom (1943), ia menegaskan bahwa demokrasi sejati itu adalah sistem yang menjamin kebebasan melalui pembatasan kekuasaan.
Artinya, seorang pemimpin tidak bisa berbuat semena-mena, sebab kekuasaannya dibatasi, dan dapat diambil kembali melalui mekanisme yang demokratis.
Lalu apa yang membatasi? Burnham menyebutkan ada dua pusaka atau pilar, pertama perlindungan hukum terhadap individu dari kekuasaan yang sewenang-wenang. Kedua, hak oposisi untuk menyatakan pendapat serta membangun kekuatan alternatif.
Masyarakat Pati, menunjukkan bahwa demokrasi bukan ilusi. Meski rakyat tidak memerintah langsung atau “diwakili” oleh segelintir elit, mereka berhasil memberikan pelajaran bahwa kekuasaan ada di tangan rakyat. Mereka juga paham bahwa protes yang dilakukannya telah mendapat perlindungan hukum.
Tak hanya itu, mereka juga paham atas haknya untuk menyuarakan pendapat dan membangun kekuatan untuk menumbangkan kekuasaan kepala daerah yang arogan dan sewenang-wenang di Kabupaten Pati. Meskipun tak serta merta menjamin kekuasaan Bupati Sudewo akan tumbang begitu saja.
Masyarakat Pati memberikan perspektif, bahwa aksi yang dilakukannya, bukan semata reaksi emosional, tapi di sana lah masyarakat menunjukkan bentuk fungsi check and balance yang melekat pada demokrasi, telah benar-benar berjalan.
Peristiwa ini mestinya menjadi pelajaran penting bagi masyarakat Indonesia, untuk tetap menjaga marwahnya sebagai pemilik pusaka yang sesungguhnya. Selain itu, juga menjadi cerminan bagi kepala daerah lain, bahwa komunikasi publik bisa menjadi penentu stabilitas politik di daerahnya.
Mungkin di masa kesaktian Keris Rambut Pinutung dan Kuluk Kanigara, pernyataan raja menentang rakyatnya sebagai bentuk ketegasan, tetapi dalam sistem demokrasi, pernyataan semacam itu justru mengundang perlawanan dari rakyat.
Terakhir, sebagai pengingat bagi kepala daerah yang lain, bahwa mempertahankan kekuasaannya tidak hanya melalui kebijakan yang baik, tetapi juga melalui komunikasi yang mengikat kepercayaan publik, baik dengan membuka ruang dialog maupun memberikan penghormatan yang semestinya terhadap oposisi.
Sebab kekuasaan kepala daerah tidak didapat dari pusaka Keris Rambut Pinutung dan Kuluk Kanigara seperti dikisahkan dalam kitab Babat Pati. Kini, “pusaka” yang paling menentukan adalah kepercayaan publik.
Nurul Fatta. Peneliti dan Pengamat Politik di Politika Research and Consulting.