MK Diminta Jadikan S-1 Syarat Pendidikan Minimum Capres-Caleg DPR hingga Cabup

Posted on

Warga bernama Hanter Oriko Siregar mengajukan gugatan terhadap syarat pendidikan minimal calon presiden serta calon anggota legislatif dalam UU Pemilu dan syarat calon kepala daerah dalam . Pemohon meminta MK mengubah syarat pendidikan capres-cawapres, caleg, hingga calon kepala daerah dari minimal SMA menjadi sarjana atau S-1.

Dilihat dari situs resmi MK, Selasa (2/9/2025), permohonan itu teregistrasi dengan nomor 154/PUU-XXIII/2025. Pasal yang digugat Pasal 169 huruf r, Pasal 182 huruf e, dan Pasal 240 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 serta Pasal 7 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015.

Berikut isi pasal-pasal yang digugat:

UU Pemilu

Pasal 169 huruf r:

Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon wakil presiden adalah:

r. berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah atas, madrasah aliyah, sekolah menengah kejuruan, madrasah aliyah kejuruan, atau sekolah lain yang sederajat

Pasal 182 huruf e yang mengatur syarat calon Anggota DPD:

Perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasat 181 dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan:

e. berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah atas, madrasah aliyah, sekolah menengah kejuruan, madrasah aliyah kejuruan, atau sekolah lain yang sederajat

Pasal 240 ayat (1) huruf e

(1) Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan:

e. berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah atas, madrasah aliyah, sekolah menengah kejuruan, madrasah aliyah kejuruan, atau sekolah lain yang sederajat.

UU Pilkada

Pasal 7 ayat (2) huruf c:

(2) Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

c. berpendidikan paling rendah sekolah lanjutan tingkat atas atau sederajat.

Dalam permohonannya, pemohon mengungkit syarat pendidikan minimal sarjana bagi orang-orang yang bekerja di bidang lain, seperti guru SD, jaksa, pengacara, dan lainnya. Pemohon mempertanyakan mengapa syarat pendidikan minimal pejabat yang dipilih rakyat lebih rendah dari syarat minimal guru SD.

“Persyaratan untuk jabatan in casu dalam permohonan a quo adalah telah usang secara sosiologis dan tidak relevan dalam konteks tantangan negara demokrasi dewasa ini,” ujar pemohon.

Pemohon juga membandingkan syarat pendidikan minimal bagi calon presiden di sejumlah negara. Pemohon menyebut peraturan di Turki, Aljazair, Azerbaijan, Tajikistan, Mesir, dan Kenya menentukan syarat untuk menjadi presiden dan seluruh jabatan seperti dalam gugatannya itu minimal lulusan pendidikan tinggi.

Pemohon menyebut syarat pendidikan minimal S-1 itu pernah masuk dalam RUU Pemilu pascareformasi. Namun, katanya, syarat itu diturunkan lagi jadi minimal SMA.

“Namun ketentuan tersebut kemudian diubah dan diturunkan kembali ke jenjang pendidikan SMA/sederajat bukan karena pertimbangan rasional objektif, melainkan karena pertimbangan pragmatis politik demi meloloskan figur tertentu yang saat itu potensial dicalonkan oleh partai politik penguasa yang belum memiliki latar belakang pendidikan tinggi,” ujarnya.

Berikut petitum pemohon terkait pasal-pasal yang digugat:

– Menyatakan Pasal 169 huruf r; Pasal 182 huruf e; dan Pasal 240 ayat (1) huruf e UU Nomor 7 tahun 2017 bertentangan secara bersyarat dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai:

Pasal 169 huruf r:

‘berpendidikan paling rendah lulusan sarjana strata satu (S-1) atau yang sederajat’

Pasal 182 huruf e:

‘berpendidikan paling rendah lulusan sarjana strata satu (S-1) atau yang sederajat’

Pasal 240 ayat (1) huruf e:

‘berpendidikan paling rendah lulusan sarjana strata satu (S-1) atau yang sederajat’

– Menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf c UU Pilkada bertentangan secara bersyarat dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai ‘berpendidikan paling rendah lulusan sarjana strata satu (S-1) atau yang sederajat’.

Sebelumnya, MK telah menolak gugatan yang meminta syarat minimal pendidikan capres-cawapres diubah dari SMA menjadi S-1. MK beralasan pemaknaan baru yang diminta oleh pemohon malah mempersempit ruang warga negara untuk menjadi calon presiden-wapres. MK menilai pasal itu sama sekali tidak menutup kemungkinan warga dengan pendidikan lebih tinggi dari SMA untuk diusung sebagai capres-cawapres oleh partai politik peserta pemilu.

Dalam permohonannya, pemohon mengungkit syarat pendidikan minimal sarjana bagi orang-orang yang bekerja di bidang lain, seperti guru SD, jaksa, pengacara, dan lainnya. Pemohon mempertanyakan mengapa syarat pendidikan minimal pejabat yang dipilih rakyat lebih rendah dari syarat minimal guru SD.

“Persyaratan untuk jabatan in casu dalam permohonan a quo adalah telah usang secara sosiologis dan tidak relevan dalam konteks tantangan negara demokrasi dewasa ini,” ujar pemohon.

Pemohon juga membandingkan syarat pendidikan minimal bagi calon presiden di sejumlah negara. Pemohon menyebut peraturan di Turki, Aljazair, Azerbaijan, Tajikistan, Mesir, dan Kenya menentukan syarat untuk menjadi presiden dan seluruh jabatan seperti dalam gugatannya itu minimal lulusan pendidikan tinggi.

Pemohon menyebut syarat pendidikan minimal S-1 itu pernah masuk dalam RUU Pemilu pascareformasi. Namun, katanya, syarat itu diturunkan lagi jadi minimal SMA.

“Namun ketentuan tersebut kemudian diubah dan diturunkan kembali ke jenjang pendidikan SMA/sederajat bukan karena pertimbangan rasional objektif, melainkan karena pertimbangan pragmatis politik demi meloloskan figur tertentu yang saat itu potensial dicalonkan oleh partai politik penguasa yang belum memiliki latar belakang pendidikan tinggi,” ujarnya.

Berikut petitum pemohon terkait pasal-pasal yang digugat:

– Menyatakan Pasal 169 huruf r; Pasal 182 huruf e; dan Pasal 240 ayat (1) huruf e UU Nomor 7 tahun 2017 bertentangan secara bersyarat dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai:

Pasal 169 huruf r:

‘berpendidikan paling rendah lulusan sarjana strata satu (S-1) atau yang sederajat’

Pasal 182 huruf e:

‘berpendidikan paling rendah lulusan sarjana strata satu (S-1) atau yang sederajat’

Pasal 240 ayat (1) huruf e:

‘berpendidikan paling rendah lulusan sarjana strata satu (S-1) atau yang sederajat’

– Menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf c UU Pilkada bertentangan secara bersyarat dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai ‘berpendidikan paling rendah lulusan sarjana strata satu (S-1) atau yang sederajat’.

Sebelumnya, MK telah menolak gugatan yang meminta syarat minimal pendidikan capres-cawapres diubah dari SMA menjadi S-1. MK beralasan pemaknaan baru yang diminta oleh pemohon malah mempersempit ruang warga negara untuk menjadi calon presiden-wapres. MK menilai pasal itu sama sekali tidak menutup kemungkinan warga dengan pendidikan lebih tinggi dari SMA untuk diusung sebagai capres-cawapres oleh partai politik peserta pemilu.