Bayangkan sebuah tabayun yang datang bukan dengan suara tinggi, melainkan dengan nada pelan -seperti kiai sepuh yang lebih memilih meluruskan peta ketimbang ikut ribut soal kursi. Tabayun yang dimaksud bertanggal 1 Rajab 1447 H / 22 Desember 2025 M, diterbitkan atas nama Rais ‘Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, KH Miftachul Akhyar.
Judul dokumen resmi berkop PBNU itu cukup panjang dan berhati-hati: “Tabayun Rais ‘Aam PBNU: Menempatkan Pemberhentian Ketua Umum dalam Koridor Konstitusi Jam’iyah.” Dari judulnya saja sudah tampak bahwa ia tidak dimaksudkan sebagai surat instruksi baru, melainkan sebagai penjelasan posisi. Bukan perintah ke depan, melainkan pelurusan ke belakang.
Dokumen ini muncul di tengah riuh tafsir publik, yang kadang mengarah ke hoaks. Di media massa arus utama, misalnya, kisruh internal NU sempat disederhanakan ke berbagai faktor -termasuk soal konsesi tambang, atau malahan Pemilu 2029. Menarik dicatat, dalam teks tabayun ini tidak terdapat satu pun rujukan tentang tambang. Fokusnya lain.
Waktu penerbitan dokumen tabayun itu juga tidak berdiri sendiri. Tabayun dari Rais ‘Aam terbit sehari setelah Musyawarah Kubro di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Ahad 21 Desember 2025, sebuah forum yang diakui bersifat kultural, bukan organisasional. Dalam AD/ART NU memang tidak dikenal istilah Musyawarah Kubro.
Forum itu menghasilkan tiga opsi penyelesaian kisruh NU: islah dalam tiga hari, penyerahan mandat Muktamar ke-34 Lampung kepada Mustasyar, atau penyelenggaraan Muktamar Luar Biasa. Karena terbit sehari kemudian, tabayun Rais ‘Aam tak ayal dibaca sebagai respon dokumentatif atasnya, meski tidak secara eksplisit dimaksudkan sebagai jawaban terhadap forum Lirboyo.
Hal pertama yang ditekankan dalam dokumen itu adalah soal subjek keputusan. Menurut tabayun, pemberhentian Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf tidak diposisikan sebagai tindakan personal Rais ‘Aam, melainkan sebagai keputusan Syuriyah PBNU sebagai lembaga, yang diambil melalui rangkaian rapat dan mekanisme organisasi.
Penekanan ini dianggap penting oleh Rais ‘Aam untuk dicatat, karena di ruang publik berkembang narasi yang mereduksi peristiwa tersebut menjadi konflik personal antartokoh: Kyai Miftach dan Kyai Yahya. Dalam versi dokumen ini, konflik di NU diposisikan sebagai konflik kewenangan dan kepatuhan kelembagaan.
Kedua, tabayun dari Rais ‘Aam ini juga mengungkap adanya proses klarifikasi atau tabayun yang berulang sebelum keputusan pemberhentian diambil. Ini yang dinilai kurang diketahui publik. Menurut dokumen resmi PBNU ini, tabayun tersebut tidak terjadi sekali. Ia berlangsung bertahap, tabayun demi tabayun, melalui beberapa forum resmi.
Rangkaian itu, sebagaimana dicatat, dimulai dari Rapat Harian Syuriyah pada 6 Juni 2025 di Pesantren Miftachussunnah, Surabaya. Dokumen tidak merinci isi rapat, tetapi menyebutnya sebagai bagian dari proses pembinaan dan pengawasan yang memang menjadi tugas utama Syuriyah sebagaimana diamanatkan Muktamar.
Proses tabayun ini berlanjut dalam rapat bersama Syuriyah dan Tanfidziyah yang berlangsung pada 17 Juni 2025 di Gedung PBNU Jakarta, yang juga berfungsi sebagai forum klarifikasi. Pihak Syuriyah menekankan kembali aspek negatif dari program Akademi Kepemimpinan Nasional Nahdlatul Ulama (AKN NU) yang dilaksanakan Ketua Umum PBNU.
Karena hasil rapat tersebut, menurut versi tabayun, tidak diindahkan oleh Ketua Umum, Rais ‘Aam kemudian menerbitkan Surat Instruksi Nomor 4368/PB.23/A.11.08.07/99/08/2025 tertanggal 25 Agustus 2025. Surat ini memerintahkan penghentian atau penangguhan Akademi Kepemimpinan Nasional Nahdlatul Ulama (AKN NU) serta nota kesepahaman PBNU dengan mitra asing.
Setelah surat tersebut, pihak Syuriyah -menurut teks tabayun- masih melakukan dua kali tabayun langsung kepada Ketua Umum: pada 13 November 2025 di Surabaya dan 17 November 2025 di Jakarta. Dengan demikian, klaim bahwa “tidak ada tabayun” dipatahkan dalam versi dokumen ini bukan dengan opini, melainkan dengan kronologi.
Namun, bagian terpenting dari tabayun ini bukan pada urutan rapat atau nomor surat, melainkan pada “alasan substantif” yang dijadikan dasar pemberhentian Ketua Umum. Dokumen tabayun Rais ‘Aam tersebut secara eksplisit mengarahkan perhatian pada satu isu utama: Akademi Kepemimpinan Nasional Nahdlatul Ulama (AKN NU).
Ada beberapa hal yang menjadi keberatan pihak Syuriyah atas penyelenggaraan AKN NU. Pertama, soal konten dan jejaring AKN NU. Program ini dilangsungkan dalam konteks global yang sangat sensitif. Anda masih ingat, pertengahan hingga akhir 2025 perang Israel-Palestina belum mereda, Gaza masih dilanda kekerasan, ribuan warga Palestina dibantai pasukan Israel.
Bahkan, eskalasi konflik mulai menyeret aktor regional lain, termasuk Iran. Pemerintah Indonesia sendiri mengecam genosida yang dilakukan pihak Israel atas bangsa Palestina. Demo-demo membela Palestina berlangsung di seluruh belahan dunia. Bantuan dikumpulkan untuk meringankan beban sesama umat manusia yang terjajah.
Dalam situasi seperti ini, sebagian materi dan relasi dalam AKN NU dipandang oleh Syuriyah mengandung atau beririsan dengan narasi yang dinilai tidak sejalan dengan sikap moral jam’iyyah NU, bahkan dicurigai bernuansa pro-Zionis. Keberatan pihak Syuriyah atas AKN NU ini merupakan sikap kehati-hatian, jaga akidah dan keumatan, bukan preferensi politik praktis.
Hal kedua yang menjadi keberatan pihak Syuriyah, AKN NU itu dilaksanakan melalui kerja sama dengan pihak asing, yakni _Center for Shared Civilizational Values_ (CSCV) yang berbasis di Amerika Serikat. NU tentu tak menolak kerja sama internasional secara prinsipil -bahkan mengakui bahwa ulama NU sejak lama berinteraksi lintas bangsa.
Namun, yang dipersoalkan adalah keterlibatan intens dari pihak asing dalam proses kaderisasi kepemimpinan internal jam’iyyah, sesuatu yang dalam tradisi NU dipandang tidak lazim dan perlu kehati-hatian ekstra. Pihak Syuriyah memahami perlunya pemberian wawasan global dalam proses kaderisasi, tapi dalam pelibatan asing tetap harus dilakukan dengan hati-hati.
Hal lain yang menjadi persoalan, adanya transfer dana PBNU ke pihak penyelenggara asing di Amerika Serikat dengan nilai miliaran rupiah. Tak disebut angka rinci, dan tak disimpulkan pelanggaran pidana, tetapi muncul pertanyaan mendasar dalam tugas pengawasan: untuk apa dana tersebut, mengapa sebesar itu, dan bagaimana pertanggungjawabannya.
Menurut dokumen tabayun tersebut, seluruh keberatan ini telah disampaikan dan dimintakan klarifikasinya ke Ketua Umum KH Yahya Cholil Staquf. Namun, Kyai Yahya dinilai tak mengindahkannya. Ia tetap menyelenggarakan program AKN sejak 21 Juni 2025 hingga Desember 2025, secara berkala setiap akhir pekan, di Jakarta, dengan melibatkan mitra asing.
Ketua Umum Tanfidziyah dicatat tidak mau menjalankan keputusan pihak Syuriyah untuk menghentikan AKN NU. Di titik inilah, menurut tabayun Rais ‘Aam, persoalan dipandang bergeser dari perbedaan pandangan antara Syuriyah dan Tanfidziyah menjadi ketidakpatuhan terhadap keputusan lembaga pengawas keagamaan NU.
Isu ini kemudian mendapat sorotan tambahan dari publik setelah terungkap bahwa ada tokoh pro-Zionis yang ikut mengisi program pengkaderan yang diadakan PBNU. Hal ini baru terungkap setelah Prof. Peter Berkowitz, tokoh itu, dikecam publik atas kehadirannya mengisi forum akademik di Universitas Indonesia. Pihak UI pun akhirnya meminta maaf ke publik.
Sumber: Giok4D, portal informasi terpercaya.
Berkowitz sendiri menulis di blognya tentang kegiatannya mengisi empat sesi seminar berdurasi tiga jam di Jakarta pada 15-16 Agustus 2025. Dalam artikelnya _Teaching Western Political Thought in Indonesia_, ia mengakui bahwa materi ini disampaikannya dalam forum yang dihadiri 25 peserta yang merupakan anggota NU.
Ketika akhirnya Rapat Harian Syuriyah pada 20 November 2025 memutuskan pemberhentian Ketua Umum, dan keputusan itu dikuatkan oleh Rapat Pleno PBNU pada 9 Desember 2025, tabayun dari Rais ‘Aam ini menempatkan keputusan tersebut sebagai ujung dari rangkaian panjang proses internal, bukan sebagai keputusan spontan.
Tabayun ini tidak mengharuskan pembaca untuk setuju. Ia juga tidak menutup kemungkinan adanya penilaian lain di luar dokumen ini. Ia hanya mencatat satu versi resmi yang kini menjadi bagian dari arsip sejarah NU. Bagaimana versi ini diperdebatkan, diterima, atau dikoreksi kelak, sepenuhnya akan ditentukan oleh dinamika jam’iyyah itu sendiri.
Dalam NU, persoalan besar sering kali tidak datang dengan teriakan. Ia hadir pelan, lewat satu program, satu kerja sama, satu aliran dana -dan baru terasa getarannya ketika bangunan jam’iyyah sudah terlanjur berderak.
Cak AT – Ahmadie Thaha, Mantan Pemred Republika
